Selasa, 14 April 2009

NILAI-NILAI AGAMA DAN PROSES MODERNISASI


Di Eropa, istilah "modernisasi" pada abad ke-19 dan awal ke-20 merujuk pada tumbuhnya rasionalitas dan sekularisme (menjauh dari agama) dan terbebasnya masyarakat dari cengkeraman rezim penguasa otoriter dan dari kepercayaan takhayul. Kini modernisasi sering diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, atau bahkan secara sempit dimaknai sebagai westernisasi. 

Tertutupnya ruang demokrasi di masa lalu telah menghambat terjadinya "dialog-dialog budaya". Setiap benturan mengenai budaya-budaya lokal (termasuk persoalan etnis dan agama) bukannya diselesaikan lewat dialog budaya, tetapi direpresi dengan dalih SARA. Terhambatnya dialog budaya mengekang pertukaran gagasan yang alamiah, terbuka, dan kreatif, yang akhirnya menyebabkan dialog tidak pernah mencapai sintesisnya yang sejati. Di sisi lain, tiadanya saluran demokratis yang memungkinkan rakyat menyelesaikan persoalan hidupnya secara sehat dan rasional juga telah menyuburkan kembali praktik-praktik irrasional. Perlu dihindari perjalanan bangsa menjadi modern tanpa memiliki esensi paling dasar dari masyarakat yang modern, yakni rasionalitas ilmiah.

Modernisasi membawa perubahan yang menyeluruh dalam tatanan kehidupan. Kunci utamanya adalah pencerahan iptek dan tumbuhnya industrialisasi yang mengakibatkan banyak hal, antara lain: meningkatnya produktivitas ekonomi, pendapatan yang relatif sama, dan meluasnya mobilitas sosial. Kota-kota tumbuh, media massa berkembang, tingkat literasi dan kesempatan pendidikan semakin tinggi, standar hidup semakin baik, dan kondisi kesehatan dan sanitasi semakin meningkat. 

Lembaga-lembaga pemerintah, keagamaan, dan keluarga pun terkena dampaknya. Peran keluarga inti (nuclear family) semakin menguat dan peran keluarga ikutan (extended family) semakin longgar. Sudut pandang, nilai-nilai, dan orientasi hidup berubah. Rakyat semakin terbuka terhadap pengalaman baru sehingga teritori sosialnya semakin luas. Sementara itu, kehidupan beragama khususnya di negara-negara Barat meluntur menjadi sekuler. Agama menjadi tersubordinasi oleh kuasa negara dan ekonomi.  

Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membutuhkan penyesuaian tata nilai dan perilaku. Pengembangan kebudayaan diharapkan dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai – nilai luhur budaya bangsa. Di samping itu, pengembangan kebudayaan dimaksudkan untuk menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai – nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi dengan positif dan produktif sejalan dengan nilai - nilai agama.  

Lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman. Gejala tersebut dapat dilihat dari menguatnya orientasi kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan bahkan disintegrasi bangsa. Masalah ini juga semakin serius akibat dari makin terbatasnya ruang publik yang dapat diakses dan dikelola bersama masyarakat multikultur untuk penyaluran aspirasi. Dewasa ini muncul kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat karena desakan ekonomi. 

Terjadinya krisis jati diri identitas nasional. Nilai- nilai solidaritas sosial, kekeluargaan,dan keramahtamahan sosial yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia, makin pudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme. Demikian pula kebanggaan atas jati diri bangsa seperti penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, semakin terkikis oleh nilai-nilai yang dianggap lebih superior. Identitas nasional meluntur oleh cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta tidak mampunya bangsa Indonesia mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa (nation and character building).  

Kurangnya kemampuan bangsa dalam mengelola kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan yang tidak kasat mata (intangible). Dalam era otonomi daerah, pengelolaan kekayaan budaya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Kualitas pengelolaan yang rendah tidak hanya disebabkan oleh kapasitas fiskal, namun juga pemahaman, apresiasi, kesadaran, dan komitmen pemerintah daerah terhadap kekayaan budaya. Pengelolaan kekayaan budaya ini juga masih belum sepenuhnya menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Sementara itu, apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk dalam negeri masih rendah, antara lain karena keterbatasan informasi.

Dalam bidang budaya di masa lalu telah terjadi proses penyeragaman atas apa yang oleh negara disebut sebagai "kebudayaan nasional" Sementara dalam bidang kesenian, secara umum tidak terjadi perkembangan ekspresi-ekspresi seni tradisional. Vitalitas kesenian tradisional surut akibat disubordinasikannya ekspresi seni ini pada kepentingan perekonomian. Kebijakan yang ditempuh untuk mendukung perkembangan kebudayaan di Indonesia adalah :  

1. Mendorong terciptanya wadah yang terbuka dan demokratis bagi dialog kebudayaan agar benturan-benturan yang terjadi tidak sampai melebar menjadi konflik sosial.  

2. Mendorong tuntasnya proses modernisasi yang dicirikan dengan terwujudnya negara kebangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan, dan menguatnya masyarakat sipil (civil society).  

3. Reaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu dasar pengembangan etika pergaulan sosial untuk memperkuat identitas nasional.  

4. Meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk-produk dalam negeri.

Dialog kebudayaan harus mencakup keseluruhan aspek-aspek pokok kebudayaan yang meliputi: 
1. Aspek ekspresif dalam seni dan agama 
2. Aspek progresif dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi 
3. Aspek organisasional dalam politik (yakni dalam kekuasaan dan solidaritas). 

Sejarah Nusantara menunjukkan, kemampuan melakukan dialog budaya secara kreatif inilah yang membentuk kebesaran nenek moyang Indonesia karena sintesis-sintesis budaya yang jenial dan mengesankan terbukti mampu diciptakan. Sintesis-sintesis inilah (yang bisa juga disebut `kesepakatan-kesepakatan sementara') yang sesungguhnya menyusun 'kebudayaan nasional' Indonesia.  

Negara kebangsaan yang modern mengharuskan bangsa ini secara konsisten berupaya membangun kelembagaan-kelembagaan masyarakat beserta elemen elemennya yang mencerminkan adanya pola-pola hubungan ekonomi, sosial dan politik yang modern dan rasional serta agama. Untuk itu, kebudayaan harus menjadi sesuatu yang inheren dalam proses mewujudkan Indonesia masa depan, yang memberi warna dalam upaya-upaya jangka panjang bangsa ini dalam mengembangkan :

A. Pondasi kebangsaan

B. Identitas dan karakter bangsa

C. Sistem kenegaraan dan pemerintahan yang berkelanjutan

D. Wawasan kebangsaan yang inklusif

E. Demokrasi yang sejalan dengan sejarah dan nilai-nilai kebangsaan

F. Sistem politik yang menj amin rakyat untuk bisa menginternalisasikan sistem nilai dasar kebangsaan

G. Sistem demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk mampu terus memperbarui konsensus atas nilai-nilai kontemporer.  

Di bidang agama dan sosial budaya, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah :

1. Memperluas kesempatan dalam berorganisasi dan berkreasi bagi pemuda secara bebas dan bertanggung jawab.

2. Meningkatkan apresiasi seni dan budaya bangsa di kalangan pemuda sebagai media persahabatan antardaerah dan antarnegara.

3. Meningkatkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial di kalangan pemuda.

4. Mencegah berbagai pengaruh negatif budaya asing di kalangan pemuda dalam rangka memperkuat ketahanan budaya nasional.

5. Meningkatkan partisipasi pemuda dalam berbagai bidang pembangunan untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada penghargaan terhadap kemajemukan.

6. Meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual di kalangan pemuda.

7. Meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan kriminalitas termasuk tawuran di kalangan pelajar dan pemuda.

8. Memberikan pemahaman, penanaman nilai-nilai, dan penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM) bagi pemuda.

9. Meningkatkan jaringan kerja sama di kalangan pemuda, baik tingkat nasional maupun internasional.  

Program ini bertujuan untuk memperkuat jati diri bangsa (identitas nasional) dan memantapkan budaya nasional. Tujuan tersebut dicapai antara lain melalui upaya memperkokoh ketahanan budaya nasional sehingga mampu menangkal penetrasi budaya asing yang bernilai negatif dan memfasilitasi proses adopsi dan adaptasi budaya asing yang bernilai positif dan produktif. Di samping itu, diupayakan pula pembangunan moral bangsa yang mengedepankan nilai – nilai kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu dan tanggungjawab.  

Kegiatan pokok yang akan ditempuh antara lain adalah revitalisasi dan reaktualisasi budaya lokal yang bernilai luhur, dan transformasi budaya melalui adopsi dan adaptasi nilai – nilai baru yang positif untuk memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya bangsa, seperti: orientasi pada peningkatan kinerja, budaya kritis, akuntabilitas dan penerapan iptek.  
Dengan demikian sangatlah di harapkan agar proses modernisasi dapat di kendalikan dan nilai-nilai agama tetap utuh dan tidak hilang lenyap begitu saja oleh proses modernisasi tersebut. Tentunya semua ini tidaklah terwujud tanpa peran serta masyarakat luas dalam menyikapi proses modernisasi dan nilai – nilai agama yang ada sehingga akan tercipta suasana yang rukun dan tentram. 




Sumber:
Pikiran Rakyat, edisi jumat 05 januari 2007. www. pikiran rakyat.co.id
Pikiran Rakyat, edisi sabtu 13 januari 2007. www. pikiran rakyat.co.id